Minggu, 14 September 2014

perkembangan islam di pulau kalimantan



BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Para ulama yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir sehingga inilah awal dari masuknya islam di kalimantan. Islam  masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu melalui dua jalur. 
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. 
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara
Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.

B.       Permasalahan
1.      Menjelaskan tentang begaimana Islam datang ke Pulau Kalimantan
2.      Menjelaskan tentang bagaimana caranya Islam bisa berkembang di Pulau Kalimantan.
3.      Menjelaskan tentang apa saja hikmah bagi Pulau Kalimantan setelah Islam datang.
C.       Tujuan
1.      Untuk mengingat kembali tentang bagaimana Islam masuk ke Pulau Kalimantan
2.      Supaya kita bisa mencontoh bagaimana cara berdakwah yang baik
3.      Mengenang kembali jasa-jasa para pejuang terdahulu di Pulau Kalimantan

























BAB II
PEMBAHASAN

Islam pertama kali masuk di Kalimantan adalah di daerah utara tepatnya di daerah Brunai sekitar pada tahun 1500 M. Setelah raja Brunai memeluk Islam (sekitar 1520), maka Brunai menjadi pusat penyiaran agama Islam sehingga Islam sampai ke Pilipina.
Pusat penyebaran Islam yang lain adalah di Kalimantan Barat di dekat Muara Sambas. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan pada abad XVI di bawa oleh orang-orang dari Johor, menyusul kemudian daerah Sambas ditaklukkan oleh kerajaan Johor.
Adapun masuknya Islam di Kalimantan Selatan terjadi sekitar 1550 M atas pengaruh dari Jawa. Dikatakan bahwa raja-raja di Kalimantan Selatan memeluk agama Islam setelah mendapat bantuan dari Sultan Demak.
Daerah Timur Kalimantan terdapat kerajaan Bugis yang mendapat pengaruh Islam sekitar tahun 1620 M. Islam masuk ke daerah ini melalui jalan perkawinan orang-orang Arab dengan putri-putri raja di daerah ini.
Proses Masuknya Islam Di Beberapa Daerah di Pulau Kalimantan :

A.     Islam Masuk di Kalimantan Barat

Islam masuk ke Indonesia masih menyisakan perdebatan panjang,ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia:
1.      Teori Gujarat,
2.      Teori Persia
3.      Teori Arabia.

1.       Teori Gujarat banyak dianut oleh ahli dari Belanda
Islam dari anak BenuaIndia, menurut Pijnappel orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermingrasi menetap diwilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia (Azra,1998:24) Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgonje. Moquette iaberkesimpulan bentuk nisan di Pasai kawasan Sumatera 17 Dzulhijjah 1831H/27 September 1428, batu nisan mirip di Cambay,Gujarat.W.F. Stuterheimmenyatakan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi,yakniMalik Al-Saleh pada tahun 1297. masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat. Relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistikj mempunyai kesamaan batu nisan di Gujarat.(Suryanegara,1998:76). J.C.Van Leur pada th 674 M pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam, Islam tidak terjadi pada abad ke- 13 akan tetapi abad  ke-7.

2.      Teori Persia dikembangkan oleh: Hoesin Djajadiningrat,
Titik berat pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia.Kesamaan budaya seperti peringatan 10 muharram atau Asyura sebagai hari peringatanSyi’ah terhadap syahidnya Husain. Kedua adanya ajaran wahdatul Wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj.Persia, dibantah K.H. Saifuddin Zuhri , apabila berpedoman Islam masuk abad ke -7 pada masa Bani Umayyah, Kekuasaan politik dipegangoleh bangsa Arab, tidak mungkin Islam berasal dari Persia.

3.       Teori Arabia
Penganut teori  ini adalah :T.W.Arnold,Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas ,A. Hasyimi, dan Hamka. Teori Arabiah yang dipertegas Hamka ia menolak keras terhadap teori Gujarat, teori ini dikemukan Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963 ia menolak bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 jauh sebelumnya abad ke-7 Masehi. Adapun keberadaan Islam di Kalimantan Barat tidak diketahui secara pasti,namun dari beberapa literatur dan pendapat yang ada masih merupakan  sebuah prediksi yang dikemukakan oleh para peneliti maupun dari bekas-bekas peninggalanyang ada, baik yang terekam di masyarakat melalui ajaran atau kepercayaan, dapat juga dilihat dari situs-situs yang masih ada dan sejarah keberadan keraton yang banyak didominasi oleh kesultanan Islam.(Doc.Natsir)




B.     Islam Masuk di Kalimantan Selatan

Barangkali sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode menjelang masuknya Islam di Kalimantan ialah Negara Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut daerah Kalimantan Selatan yang diketahui ialah daerah sepanjang sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya.
Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan menjelang Islam banyak diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni Hikayat Lambung Mangkurat atau Hikayat Banjar. Sumber tersebut memberitahukan bahwa di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan Selatan kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah dia meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa dengan Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja Demak. Dalam hal ini sangat menarik perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan daerah Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul di kepalanya dan mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi atau Juragan Balaba yang berasal dari Surabaya. Juragan Balaba memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba sendiri. Dia mempunyai dua orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri, Raden Sekar kemudian diambil menjadi menantu Sunan Giri dan kemudian bergelar Sunan Serabut. Raden Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke Negara Dipa. Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan dengan pihak kerajaan Negara Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari Kerajaan Banjar.
Raden Sekar Sungsang Menjadi raja pertama dari Negara Daha dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia berkuasa hubungan dengan Giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap tahun.Yang menjadi masalah adalah, kalau Raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dengan melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden Panji Sekar menjadi seorang ulama yang bergelar Sunan Serabut, adalah hal yang wajar kalau ayahnya sendiri Raden Sekar Sungsang telah memeluk agama Islam meskipun keimanannya belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara Daha dari Kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum Sultan Suriansyah.
Kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinannya antara lain bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan ke Islamannya, atau memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang dapat disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar abad ke 13-14 Masehi.
A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”, menjelaskan bahwa ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung raja Negara Daha. Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera meminta bantuan pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat setelah Majapahit. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877) halaman 264 memuat isi surat Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar dalam huruf Arab-Melayu. Isi surat itu adalah : “Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean kerana putera andika berebut kerajaan lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul”. Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat itu tertulis dalam huruf Arab. Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran Samudera, adalah jelas menunjukkan bukti bahwa masyarakat Islam sudah lama terbentuk di Banjarmasin. Terbentuknya masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau Kerajaan Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah terbentuk pada abad ke- 15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke- 15.
Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke Banjarmasin. Disini dapat pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara Daha dan Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi pertanian sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada perekonomian perdagangan. Hubungan itu terutama adalah hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan bantuan militer ketika Pangeran Samudera berhadapan dengan Raja Daha Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Pangeran Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha. Patih Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa. Mereka sepakat mencari Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat, karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuh Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan lagi. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan bertahan di muara sungai Amandit.
Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari Negara Daha sampai Banjarmasin dari :
1.      Maharaja Sari Kaburangan/Raden Sekar Sungsang
2.      Maharaja Sukarama
3.      Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri
4.      Pangeran Tumenggung
5.      Pangeran Samudera
Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Hindu Negara Daha, dan Pangeran Samudera usurpator kedua adalah pembangun dinasti Islam Banjarmasin.
  • Peranan Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual di Kalimantan Selatan
Tradisi intelektual umumnya mengacu kepada proses transmisi keislaman, pmbentukan wacana intelektual, yang alam proses selanjutnya menjadi tradisi yang dikembangkan dan dipelihara secara terus-menerus[[1]].
Ulama menduduki posisi utama, bukan saja dalam bidang keagamaan tetapi juga dalam bidang sosial-politik dan budaya. Dalam bidang keagamaan, ulama adalah penafsir yang sah atas ajaran islam dan selanjutnya menentukan corak keagamaan suatu masyarakat. Dalam bidang sosial-politik dan budaya, ulama merupakan elit sosial, kedudukan yang disandangnya sejalan dengan perannya di bidang keagamaan. Selain memainkan peran seperti diatas, mereka juga adalah pemimpin lembaga sosial keagamaan, seperti pesantren, surau, dan tarekat. Dengan semua peran ini ulama memainkan pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat islam[[2]].
  1. Muhammad Arsyad Al-Banjari (Riwayat Hidup dan Pemikirannya)
Muhammad arsyad al-banjari[19[3]](1122-1227/1710-1812) merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di kalimantan selatan.
Muhammad arsyad al-banjari dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, Muhammad ’Arsyad mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya di desanya sendiri, dari ayahnya dan para guru setempat, sebab tidak ada bukti bahwa atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah
 tersebut. Ketika dia berumur tujuh tahun, dia diriwayatkan bahwa dia telah mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna. Dia menjadi terkenal karena hal ini, sehingga mendorong sultan Tahlilullah (1112-58/1700-45) untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal di istana sultan. Di kemudian hari, sultan menikahkannya dengan seorang wanita; tetapi ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad Arsyad ke Haramayn guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya Kesultanan. Sultan tampaknya mengongkosinya dengan murah hati; Muhammad Arsyad bahkan mampu membeli sebuah rumah di daerah Syamiyah, Makkah, yang masih dipertahankan para imigran Banjar sampai waktu belakangan ini[[4]]. Guru-guru muhammad arsyad yang dikenal adalah al-sammani, al-damanhuri, slayman al-kurdi, dan atha athaillah al-mashri. Ada kemungkinan dia belajar dengan guru-guru lain, terutama dengan ibrahim al-rais al-zamzami, yang darinya muhammad arsyad boleh jadi mempelajari ilm al-falak (astronomi), bidang yang menjadikannay salah seorang ahli paling menonjol diantara para ulama melayu-indonesia.
Mempertimbangkan karya-karya dan kegiatan-kegiatanya setelah kembali ke nusantara, kita dapat berasumsi bahwa muhammad arsyad adalah seorang ahli dalah bidang fiqih atau syariat, terutama adanya fatwa bahwa bukunya yang paling termasyhur, yang berjudul sabil al-muhtadin adalah buku fikih. Tetapi, ini tidak lantas berarti, dia tidak menguasai tasawuf; diketahui bahwa dia juga menulis sebuah karya berjudul kanz al-ma’rifah, yang membahas tentang tasawuf. Jadi, muhammad arsyad mendapatkan keahlian dalam ilmu lahir (al-zhahir) maupun ilmu batin (al-bathin), atau seperti ditulis steenbrink, dia telah menguasai fikih dan tasawuf[[5]]. muhammad arsyad menerima tarekat sammaniyah dari al-sammani, dan dia dianggap sebagai ulama paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat sammaniyah di kalimantan.
Muhammad arsyad belajar sekitar tiga puluh tahun di makkah dan lima puluh tahun di madinah bersama beberapa murid melayu indonesia lainnya. Beberapa tahun sebelum dia kembali ke nusantara, diriwayatkan dia mulai mengajar murid-murid di masjidil haram, makkah. Namun, muhammad arsyad merasakan belum mendapatkan pengetahuan yang memadai. Bersama dengan al-palimbani, abd al-rahman al-batawi, dan abdul wahhab al-bugisi, dia meminta izin guru mereka, athaillah al-mashri, untuk menambah pengetahuan di kairo. Meski menghargai niat baik mereka, athailah menyarankan jauh lebih baik bagi mereka kembali ke nusantara, sebab dia percaya mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, yang dapat  mereka  mamfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Bagaimanapun, mereka tetap memutuskan pergi ke kairo, tetapi hanya untuk berkunjung, dan bukan untuk belajar[[6]]. Muhammad arsyad mempertahankan kontak dan komunikasi secara terus-menerus dengan tanah airnya sementara dia berada di haramayn, sehingga dia selalu mendapatkan informasi tentang perkembangan islam di sana. Dalam hubungan ini, Sang sultan, dia mendengar, menerapkan hukuman denda yang berat kepada rakyat muslimnya yang tidak menjalankan shalat jum’at secara berjamaah. dia diriwayatkan meminta pendapat gurunya, sulayman al-kurdi, mengenai beberapa pajakkebijaksanaan agama sultan banjar. Muhammad arsyad juga meminta sulayman al-kurdi menjelaskan perbedaan antara zakah dengan pajak, sebab sulan banjar telah mewajibkan penduduk membayar pajak dan bukannya zakah[[7]]. sayang sekali, kita tidak mendapatkan informasi mengenai tanggapan sulayman al-kurdi atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi riwayat ini mencerminkan perhatian besar muhammad arsyad terhadap penerapan yang benar atas ajaran-ajaran syariat.  
Muhammad arsyad bersama abd al-rahman al-batawi al-mashri dan abd al-wahhab al-bugisi kembali ke nusantara pada 1186/1773. sebelum dia pergi ke banjarmasin, atas permintaan al-batawi, muhammad arsyad tinggal di batavia selama dua bulan. Meski dia tinggal di batavia hanya dalam waktu yang relatif singkat, dia mampu melancarkan pembaruan penting bagi kaum muslim batavia. Dia membetulkan arah kiblah beberapa mesjid di batavia. Menurut perhitungannya, qiblah di mesjid-mesjid di jembatan lima dan pekojan, batavia, tidak diarahkan secara benar menuju ka’bah dan, karenanya, harus diubah. Ini menimbulkan kontroversi di kalangan para pemimpin muslim di batavia, dan akibatnya gubernur jendral belanda memanggil muhammad arsyad untuk menjelaskan masalah itu. Sang gubernur,  yang terkesan akan perhitungan matematis muhammad arsyad, dengan senang hati memberinya beberapa hadiah[[8]].
Semangat pembaruan dalam pribadi muhammad arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali ke martapura, kalimantan selatan. Salah satu hal pertama yang dilakukannya setelah kedatangannya adalah mendirikan lembaga pendidikan islam yang sangat penting untuk mendidik kaum muslim guna meningkatkan pemahamann mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik islam.  Untuk tujuan itu, muhammad arsyad meminta sultan tahmid allah II (1187-1223/1773-1808) memberinya sebidang besar tanah tak terpakai di luar ibukota kesultanan. Dia dan abd wahab al-bugisi, yang kini menikah dengan putri muhammad arsyad, membangun sebuah pusat pendidikan islam, yang serupa ciri-cirinya dengan surau di sumatra barat atau pesantren di jawa. Sepeti kebanyakan surau dan pesantren, pusat pengetahuan muhammad arsyad terdiri atas ruangan-ruangan untuk kuliah, pondokan para murid, rumah para guru, dan perpustakaan. Pusat ini secara ekonomis dapat membiayai dirinya sendiri, sebab muhammad arsyad bersama dengan beberapa guru dan murid mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah dan kebun kebun sayuran. Tak lama kemudian, pusat itu telah menjadikan dirinya sebagai locus paling penting untuk melatih para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat di kalimantan. Muhammad arsyad mengambil langkah penting lain untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan jalan memperbarui administrasi keadilan di kesultanan banjar. Di samping menjadikan doktrin-doktrin  hukum islam sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal, muhammad arsyad, dengan dukungan sultan, mendirikan pengadilan islam terpisah untuk mengurus masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai diperkenalkannya jabatan mufti, yang bertanggungjawab mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial. Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad berusaha menjalankan hukum islam di wilayah kekuasaan kesultanan banjar. 
Karyautama Muhammad Arsyad adalah sabil al-nuhtadin li al-tafaqquh fi ’amr al-din yang merupakan salah satu karya utama dalam bidang fiqih dunia melayu setelah diselesaikannya al-shirat al-mustaqim oleh ar-raniri dan mir’at al-thullab oleh al-sinkili. Sebagaimana dinyatakan muhammad arsyad dalam catatan pendahulunnya, dia mulai menulis al-shirat al-mustaqim pada 1139/1779 atas permintaan sultan tahmidillah. Karya ini diselesaikan pada 1195/1781. dia terbagi atas dua jilid, terdiri atas sekitar lima ratus halaman. Kitab ini membahas aturan-aturan rinci aspek ibadah (ritual) dalam fikih.pada dasarnya karya itu merupakan penjelasan, atau sampai batas tertentu adalah revisi, atas karya al-raniri al-shirat al-mustaqim yang menggunakan banyak istilah dalam bahasa aceh yang hampir tidak dapat dipahami para ulama dan masyarakat  melayu-indonesia di wilayah-wilayah laindi nusantara. Sabil Al-Muhtadin, yang dicetak beberapa kali di Makkah, Kairo, Istambul dan beberapa tempat di Nusantara, sangat populer di kalangan Melayu-Indonesia, dan masih digunakan di banyak wilayah di Nusantara. Kepopuleran tulisan Muhammad Arsyad menunjukkan, bahwa karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran hukum Islam benar-benar dibutuhkan kaum muslim Melayu Indonesia  sebagai petunjuk praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga menunjukkan kenyataan bahwa kaum muslim di nusantara mempunyai minat sangat besar pada hukum islam dan tidak hanya tertarik pada mistisisme Islam, sebagai diasumsikan beberapa sarjana.
Beliau meninggal dunia pada malam Selasa yaitu di antara waktu Maghrib dan Isyak, pada 6 Syawal 1227 Hijrah bersamaan 13 Oktober 1812 Masehi. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat Islam di Nusantara

  1. Abdul Wahhab Al-Bugisi
Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.
Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah Banjar seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada tahun 1772 M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.
Abdul Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah Tekad Abdul Wahabyang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu yang telah didapat ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan bersama teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin menguatkan keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.
Kedua, membantu Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.
Ketiga, Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama Kitab Sabilal Muhtadin.
Keempat, untuk mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa.
Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Sultan Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli.
Di samping alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah yang bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya yang berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003). Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan pendekatan dakwah sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di samping  pendekatan  dakwah  syariah[[9]].
                 Sayangnya, perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih kurang 10-15 tahunan

C.    Islam Masuk di Kalimantan Timur

Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-600) kerajaan Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu Syekh Abdul Qadir Khatib Tunggal yang bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tunggang Parangan. Seperti yang di kisahkan dalam Silsilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama tersebut adalah untuk menyebarkan agama islam dengan cara mengajak Aji Raja Mahkota Untuk memeluk agama Islam, pada awalnya ajakan ulama ini di tolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa agama di kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu.
Langkah dakwah kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota di tolak oleh sang Raja. Bahkan karena langkah dakwah ini buntu, Tuan ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan tunggang parangan di kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir, Tunggang Parangan menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja bersedia untuk memeluk islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota yang akan menang maka Tunggang Parangan akan mengabdikan hidupnya untuk kerajaan Kutai Kartanegara.
Solusi Tunggang Parangan di setujui oleh Raja Mahkota. Adu kesaktian akhirnya di gelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja Mahkota. Sebagai konskuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota Akhirnya masuk Islam. Sejak Aji Raja Masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat interaksi dengan kerajaan  majapahit lambat laun luntur dan berganti dengan pengaruh Islam dan sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk agama hindu kemudia tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran kerajaan.
Perkembangan kerajaan Kutai Kartanegara yang mempunyai lokasi berdekatan dengan kerajaan kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman pada awalnya tidak menimbulkan friksi yang berarti. Hanya saja ketika Kerajaan Kutai Kartanegara di perintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M) terjadi perang antara dua kerajaan besar ini. Di akhir perang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara di lebur menjadi satu dengan nama
Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Raja pertama dari penggabungan dua kerajaan ini adalah Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M).
Pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura, pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-1600 M) telah mengakar kuat. Islam sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Karta Negara ing Martadipura. Indikator dari pengaruh islam terlihat pada pemakaian Undang-Undang Dasar Kerajaan yang di kenal dengan nama “Panji Salaten” yang terdiri dari 39 Pasal dan memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang-Undang Beraja Nanti” yang memuat 164 Pasal peraturan. Kedua Undang-Undang tersebut berisi peraturan tentang yang di sandarkan pada Hukum Islam.
Pemimpin pertama yang memakai gelar “Sultan” adalah Aji Su;tan Muhammad Idris. Beliau merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis di Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), Sultan Wajo meminta bantuan Aji Sultan Muhammad Idris. Permintaan bantuan pun di penuhi oleh Aji Sultan Muhammad Idris. Kemudian berangkatlah rombongan Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi Selatan untuk membantu Sultan Wajo La Madukelleng. Dalam upaya memberikan bantuan tersebut Aji Sultan Muhammad Idris Meninggal dunia.
Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi, kursi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadi pura di pegang oleh dewan perwakilan. Tetapi ketika Aji Sultan Muhammad Idris Meninggal dalam pertempuran di Sulawesi, timbul perebutan tahta tentang pengganti sultan. Perebutan tahta terjadi antara kedua anak Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu putra Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado.
Pada awal awal perebutan tahtta, Aji Imbut terdesak oleh Aji Kado dan lari ke Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La MAdukelleng. Aji Imbut menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado yang telah menduduki ibukota kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang terletak di pemarangan, karena ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara telah berpindah dari Kutai lama ke Pemarangan sejak tahun 1732.
Aji Imbut Akhirnya menyerang Aji Kado di Pemarangan. Di dukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis dan Aji Imbut berhasil mengalahkan Aji Kado dan memduduki singgasana Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan Gelar Aji Marhum Muslihuddin (1739-1782 M). sedangkan Aji Imbut dihukum mati dan dimakamkan di pulau jembayan.
Di Kalimantan Timur inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk kepada Islam diikuti oleh para pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang. Untuk kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah masjid. Tahun 1575 M, raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke pedalaman Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di Langgar dan para penggantinya.

D.    Islam Masuk di Kalimantan Tengah

seorang ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah Kotawaringin. Ulama tersebut adalah Kiai Gede, seorang ulama asal Jawa yang diutus oleh Kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan. Kedatangan Kiai Gede tersebut ternyata disambut baik oleh Sultan Mustainubillah. Oleh sang Sultan, Kiai Gede kemudian ditugaskan menyebarkan Islam di wilayah Kotawaringin, sekaligus membawa misi untuk merintis kesultanan baru di wilayah ini.
Berkat jasa-jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam dan membangun wilayah Kotawaringin, Sultan Mustainubillah kemudian menganugerahi jabatan kepada Kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan pangkat Patih Hamengkubumi dan bergelar Adipati Gede Ing Kotawaringin. Namun, hadiah yang paling berharga dari sang Sultan bagi Kiai Gede adalah dibangunnya sebuah masjid yang kelak bukan sekedar sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai pusat kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bagi Kiai Gede dan para pengikutnya. Bersama para pengikutnya, yang waktu itu hanya berjumlah 40 orang, Kiai Gede kemudian membangun Kotawaringin dari hutan belantara menjadi sebuah kawasan permukiman yang cukup maju. Kalaupun wilayah Kotawaringin sekarang ini menjadi salah satu kota yang terbilang maju di Kalimantan, hal itu tidak dapat dipisahkan dari jasa besar Kiai Gede dan para pengikutnya. Kiai Gede membangun Sebuah Masjid yang bernama Masjid Kiai Gede, Mesjid ini menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di Kotawaringin. Masjid Kiai Gede dibangun pada tahun 1632 Miladiyah atau tahun 1052 Hijriyah, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah (1650-1678 M), raja keempat dari Kesultanan Banjarmasin.

·         Pendidikan Islam di Kalimantan
Pendidikan Islam di Kalimantan dipelopori oleh Madrasatun Najah wal Falah yang didirikan pada tahun 1918 M, hal ini menjadi inspirasi bagi berdirinya madrasah-madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang lain. Diantara madrasah-madrasah tersebut adalah :
Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah). Di antara madrasah yang masyhur adalah Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di Sambas yang berdiri pada tahun 1922 M. Proses pembelajaran di madrasah ini selama 5 tahun ditambah 1 tahun kursus vak agama. Materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama ditambah pengetahuan umum. Al-Raudlatul Islamiyyah Madrasah Al-Raudlatul Islamiyyah berlokasi di Pontianak, didirikan pada tahun 1936 M. Madrasah ini menyelenggarakan dua tingkat pendidikan yaitu Ibtidaiyah selama 6 tahun dan Tsanawiyah selama 3 tahun. Materi yang diajarkan sama dengan madrasah lain yaitu ilmu agama ditambah ilmu umum. Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) SMIP didirikan pada tanggal 15 Oktober 1946 M di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Lama pelajarannya selama 5 tahun terdiri dari 6 kelas. Pelajaran Agama di kelas 1, 2 dan 3 sederajat dengan Tsanawiyah dan pelajaran umum sedapat-dapatnya sederajat dengan SMP Negeri.
Normal Islam Amuntai Madrasah ini didirikan pada tahun 1928 oleh H. Abdur Rasyid, seorang lulusan Al-Azhar Mesir dengan nama Arabische School. Pada akhir 1941 tampuk kepemimpinan dipegang oleh Ustadz M. Arif Lubis, salah satu guru di Pondok Modern Gontor Ponorogo (Madiun) dan berubah namanya menjadi Ma’had Rasyidah Amuntai. Pada tahun 1945, nama madarasah berubah menjadi sekolah guru dengan nama Normal Islam IMI Amuntai, dengan lama pelajaran selama 6 tahun dan rencana pelajarannya disesuaikan dengan hajat masyarakat.
Selain madrasah-madrasah tersebut banyak madrasah-madrasah lainnya, diantaranya Madrasah Imad Darussalam di Martapura, Madrasah Sekolah Menengah Islam di Kandangan, Madrasah Al-Ashriah di Banjarmasin dan lain-lain.

·         Organisasi Perkumpulan Madrasah di Kalimantan
Di kalimantan ada beberapa organisasi perkumpulan madrasah, diantaranya :
a.         Persatuan Madrasah Islam Indonesia (PERMI) Permi didirikan di Pontianak pada tahun 1954 dengan tujuan untuk menyatukan nama madrasah dengan nama yang sederhana yaitu Madrasatul Islam Al Ibtidaiyah dan Madrasatul Islam Tsanawiyah. Tujuan lainnya adalah menyatukan bahan dan sumber pelajaran, yakni menggunakan kitab-kitab keluaran Sumatera. Permi memberi ketentuan bahwa pelajaran pada madrasah-madrasah itu terdiri dari ilmu agama, bahasa Arab dan pengetahuan umum dengan porsi pengetahuan umum sekurang-kurangnya 30%. Permi juga mempunyai tujuan untuk menyatukan madrasah-madrasah dalam organisasi ini.
b.        Ikatan Madrasah Islam (IMI) Amuntai IMI didirikan pada tanggal 15 Maret 1945 dengan tujuan menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas berdirinya perguruan tinggi Islam dan memperbaiki organisasi dan leerplan perguruan-perguruan Islam yang telah ada agar sesuai dengan hajat hidup orang banyak. Untuk mencapai tujuan tersebut IMI melakukan rapat-rapat dengan guru-guru dan pendidik-pendidik Islam, mendirikan perguruan-perguruan Islam jika memungkinkan, menggabungkan perguruan-perguruan Islam menjadi satu serta memberikan arahan-arahan kepada perguruan-perguruan Islam tentang pendidikan, pengajaran dan organisasi.
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Setelah Islam datang ke Indonesia terutama di Pulau Kalimantan banyak perubahan-perubahan yang terjadi terutama bagi rakyat yang menengah ke bawah. Mereka lebih di hargai dan tidak tertindas lagi karena Islam tidak mengenal sistem kasta, karena semua masyarakat memiliki derajat yang sama. Islam juga membawa perubahan-perubahan baik di bidang politik, ekonomi dan agama. Islam juga bisa mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia untuk melawan dan memgusir para penjajah.

B.     Saran

Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan saran, kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas kelompok kami ini













DAFTAR PUSTAKA


·         Buku
Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia",   dalam    Seminar Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di Indonesia", Jakarta:
Ali Daud, Muhammad, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet . ke-2
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999

·         Media Online
http://ldiisampit.blogspot.com/2011/11/perkembangan-islam-di-kalimantan.html



[[1]] Tradisi intelektual juga dipahami sebagai upaya “penerjemahan” nilai-nilai islam ke dalam system sosial budaya masyarakat nusantara, berarti proses penyerapan prinsip islam melalui modus konseptualisasi yang berbasis pada system sosial budaya nusantara, yang akan membentuk dimensi islam nusantara yang khas. Ensiklopedi Tematis… jilid 5, hal. 139.

[2] Penyebaran pembaruan dari pusat-pusat pengetahuan dan keilmuwan di timur tengah ke berbagai wilayah nusantara serta hubungan religius dan intelektual antarulamanya ternyata tidak terputus hingga masa al-raniri, singkel, dan syekh yusuf saja, melainkan berkelanjutan dan bahkan mencapai momentumnya pada periode berikutnya, tepatnya abad-18 hingga awal abad ke-19 dan ke-20. pada periode ini pula gerakan pembaruan di wilayah Melayu-Indonesia mulai menunjukkan akselerasi yang signifikan dengan lebih berkembangnya penghargaan akan pentingnya pengetahuan dan keilmuwan islam serta perlunya pembaruan di kalangan berbagai kelompok etnik di Nusantara.
Ulama melayu-indonesia setelah abad ke-7, tercatat: abdus samad al-palimbani, syihabuddin bin Abdullah Muhammad, kemas fakhruddin, kemas Muhammad bin ahmad, dan Muhammad muhyiddin bin syihabuddin (Sumatra selatan) dan ulama-ulama dari berbagai wilayah yaitu Muhammad arsyad al-banjari dan Muhammad nafis al-banjari dari Kalimantan selatan, abdul wahhab al-bugisi dari sulawesi, Abdurrahman masri al-baawi dari batavia, daud bin Abdullah al-fatani dari wilayah patani(Thailand selatan), ahmad rifa’I dari kalisasak, Muhammad bin umar an-nawawi al-bantani al-jawi dari banten, serta syekh ahmad khatib al-minangkabawi dan Muhammad yasin bin Muhammad isa al-padani dari Sumatra barat.  Ensiklopedi Tematis…, jilid 5. hal. 127-128).

[[3]] Jalur nasabnya adalah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama'ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja'far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu'minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.

[[4]]Untuk biografi lengkap muhammad arsyad, lihat, zamzan, syekh muhammad arsyad; jusuf halidi, ulama besar kalimantan: syech muhammad arsjad al-banjari, martapura: jajasan al-banjari, 1968;tamar djaja, ”sjeich M. Arsjad Bandjar”, dalam pusaka indonesia, djakarta: bulan bintang, 1965, 309 – 17; Shaghir Abdullah, syeikh muhd. Arsyad albanjari, matahari islam, pontianak: al-fathanah, 1983;abu daudi, maulana syekh moh. Arsyad al-banjari, martapura: sullamululum, 1980; M.S Kadir, ”Syekh muhammad ’arsyad al-banjari pelopor dakwah islam & kalimantan selatan”, mimbar ulama, 6 (1976), 69-79, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.  
[5]k. Steenbrink,”syekh muhammad arsyad al-banjari: 1710-1812, tokoh fikih dan tasawuf,” dalam karyanya beberapa aspek tentang islam di nidonesia abad ke-19, jakarta: bulan bintang, 1984,91,96. dalam Azra, Jaringan Ulama…,

[6] . halidi, ulama besar, 11-12; abdullah, syekh abdush shamad, 11 – 2, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.

[7] .  zamzam, syek muhammad arsyad, 10; steenbrink,syekh muhammad arsyad; 92, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.

[8] . halidi, ulama besar, 14 – 5; halidi, syekh muhammad arsyad, 7; c.s hurgronje, nasihat-nasihat c.snouck hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah hindia belanda, terj. Sukarsi, jakarta: INIS,1991,V,898 – 9. ini merupakan edisi indonesia dari E.Gobee & C. Adrianse (comp), Amptelijke Adviezen van C. Snouck hurgronje, 1889 – 1936, 2 jilid, s-Gravenbage: Nijhoff, 1959 -65, dalam Azra, Jaringan Ulama…,

[9] . Dimaksud dengan dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya. Dengan kata lain pendekatan dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004: 46).