BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para ulama yang berdakwah di Sumatera
dan Jawa
melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir sehingga inilah awal
dari masuknya islam di kalimantan. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal
dengan Borneo kala itu melalui dua jalur.
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah
Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak
dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah
semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan
mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam
adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa.
Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak
berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah
pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang
besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
Di
Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni
sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi
proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku
(etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase
kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan
Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara
Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring
dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang
disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan
Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya
kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam
sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
B. Permasalahan
1. Menjelaskan
tentang begaimana Islam datang ke Pulau Kalimantan
2. Menjelaskan
tentang bagaimana caranya Islam bisa berkembang di Pulau Kalimantan.
3. Menjelaskan
tentang apa saja hikmah bagi Pulau Kalimantan setelah Islam datang.
C. Tujuan
1. Untuk
mengingat kembali tentang bagaimana Islam masuk ke Pulau Kalimantan
2. Supaya
kita bisa mencontoh bagaimana cara berdakwah yang baik
3. Mengenang
kembali jasa-jasa para pejuang terdahulu di Pulau Kalimantan
BAB
II
PEMBAHASAN
Islam pertama kali masuk di Kalimantan adalah di
daerah utara tepatnya di daerah Brunai sekitar pada tahun 1500 M. Setelah raja
Brunai memeluk Islam (sekitar 1520), maka Brunai menjadi pusat penyiaran agama
Islam sehingga Islam sampai ke Pilipina.
Pusat penyebaran Islam yang lain adalah di
Kalimantan Barat di dekat Muara Sambas. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan
pada abad XVI di bawa oleh orang-orang dari Johor, menyusul kemudian daerah
Sambas ditaklukkan oleh kerajaan Johor.
Adapun masuknya Islam di Kalimantan Selatan terjadi
sekitar 1550 M atas pengaruh dari Jawa. Dikatakan bahwa raja-raja di Kalimantan
Selatan memeluk agama Islam setelah mendapat bantuan dari Sultan Demak.
Daerah Timur Kalimantan terdapat kerajaan Bugis yang
mendapat pengaruh Islam sekitar tahun 1620 M. Islam masuk ke daerah ini melalui
jalan perkawinan orang-orang Arab dengan putri-putri raja di daerah ini.
Proses Masuknya Islam Di Beberapa Daerah di Pulau
Kalimantan :
A. Islam Masuk
di Kalimantan Barat
Islam masuk ke Indonesia masih menyisakan perdebatan
panjang,ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam
di Indonesia:
1. Teori
Gujarat,
2. Teori
Persia
3. Teori
Arabia.
1. Teori
Gujarat banyak dianut oleh ahli dari Belanda
Islam dari anak BenuaIndia, menurut Pijnappel orang
Arab bermazhab Syafi’i yang bermingrasi menetap diwilayah India kemudian membawa
Islam ke Indonesia (Azra,1998:24) Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgonje. Moquette
iaberkesimpulan bentuk nisan di Pasai kawasan Sumatera 17 Dzulhijjah 1831H/27
September 1428, batu nisan mirip di Cambay,Gujarat.W.F. Stuterheimmenyatakan
masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi,yakniMalik Al-Saleh
pada tahun 1297. masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat. Relief batu
nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistikj mempunyai kesamaan batu
nisan di Gujarat.(Suryanegara,1998:76). J.C.Van Leur pada th 674 M pantai barat
Sumatera telah terdapat perkampungan Islam, Islam tidak terjadi pada abad
ke- 13 akan tetapi abad ke-7.
2. Teori Persia dikembangkan oleh: Hoesin
Djajadiningrat,
Titik berat pada kesamaan kebudayaan masyarakat
Indonesia dengan Persia.Kesamaan budaya seperti peringatan 10 muharram
atau Asyura sebagai hari peringatanSyi’ah terhadap syahidnya Husain. Kedua
adanya ajaran wahdatul Wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan
ajaran sufi Persia, Al-Hallaj.Persia, dibantah K.H. Saifuddin Zuhri , apabila
berpedoman Islam masuk abad ke -7 pada masa Bani Umayyah, Kekuasaan politik
dipegangoleh bangsa Arab, tidak mungkin Islam berasal dari Persia.
3. Teori Arabia
Penganut teori ini adalah
:T.W.Arnold,Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas ,A.
Hasyimi, dan Hamka. Teori Arabiah yang dipertegas Hamka ia menolak
keras terhadap teori Gujarat, teori ini dikemukan Seminar Sejarah Masuknya
Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963 ia menolak bahwa Islam masuk
ke Indonesia abad 13 jauh sebelumnya abad ke-7 Masehi. Adapun keberadaan
Islam di Kalimantan Barat tidak diketahui secara pasti,namun dari beberapa
literatur dan pendapat yang ada masih merupakan sebuah prediksi yang
dikemukakan oleh para peneliti maupun dari bekas-bekas peninggalanyang ada,
baik yang terekam di masyarakat melalui ajaran atau kepercayaan,
dapat juga dilihat dari situs-situs yang masih ada dan sejarah keberadan
keraton yang banyak didominasi oleh kesultanan Islam.(Doc.Natsir)
B. Islam Masuk di Kalimantan Selatan
Barangkali sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa
Kalimantan pada periode menjelang masuknya Islam di Kalimantan ialah Negara Kartagama, yang ditulis oleh
Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut daerah Kalimantan Selatan yang
diketahui ialah daerah sepanjang sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya.
Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan
menjelang Islam banyak diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni
Hikayat Lambung Mangkurat atau Hikayat Banjar. Sumber tersebut memberitahukan
bahwa di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu
Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan
Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan
Selatan kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara
Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah dia
meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa
dengan Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi
institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian
Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan
setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan
kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja
Demak. Dalam hal ini sangat menarik perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan
daerah Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan tentang
Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil
kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai
Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul
di kepalanya dan mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan
Petinggi atau Juragan Balaba yang berasal dari Surabaya. Juragan Balaba
memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia dikawinkan dengan
puteri Juragan Balaba sendiri. Dia mempunyai dua orang putera Raden Panji Sekar
dan Raden Panji Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri, Raden Sekar kemudian
diambil menjadi menantu Sunan Giri dan kemudian bergelar Sunan Serabut. Raden
Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke Negara Dipa.
Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah seorang pedagang dari
Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan dengan pihak kerajaan Negara
Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara Dipa, yang
sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap
bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar
Sungsang memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi
sekitar Negara sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai
sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera yang menjadi
Sultan Suriansyah raja pertama dari Kerajaan Banjar.
Raden Sekar Sungsang Menjadi raja pertama dari
Negara Daha dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia berkuasa hubungan
dengan Giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap tahun.Yang menjadi
masalah adalah, kalau Raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dengan
melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri,
adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama
Islam. Raden Panji Sekar menjadi seorang ulama yang bergelar Sunan Serabut,
adalah hal yang wajar kalau ayahnya sendiri Raden Sekar Sungsang telah memeluk
agama Islam meskipun keimanannya belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden
Sekar Sungsang raja dari Negara Daha dari Kerajaan Hindu yang telah beragama
Islam pertama sebelum Sultan Suriansyah.
Kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar
Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu
pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinannya antara
lain bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan
ke Islamannya, atau memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang dapat
disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan
Selatan, sekitar abad ke 13-14 Masehi.
A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”, menjelaskan bahwa ketika Pangeran
Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung raja Negara Daha.
Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan
pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera meminta bantuan pada
Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat setelah Majapahit. Patih
Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400 pengiring dan 10 buah kapal.
Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan membawa sepucuk surat dari
Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877) halaman 264
memuat isi surat Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar
dalam huruf Arab-Melayu. Isi surat itu adalah : “Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin datang kepada Sultan
Demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan
sampean kerana putera andika berebut kerajaan lawan parnah mamarina yaitu
namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk mengula
pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung,
tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul”. Yang
menarik dari surat ini adalah bahwa surat itu tertulis dalam huruf Arab. Kalau
huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran Samudera, adalah jelas menunjukkan bukti
bahwa masyarakat Islam sudah lama terbentuk di Banjarmasin. Terbentuknya
masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian membaca dan menulis huruf Arab
memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau Kerajaan Islam Banjar terbentuknya pada
permulaan abad ke- 16, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam
di Banjarmasin sudah terbentuk pada abad ke- 15. Karena itulah masuknya agama
Islam ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke-
15.
Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke
Banjarmasin. Disini dapat pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara
Daha dan Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi pertanian
sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada perekonomian perdagangan. Hubungan
itu terutama adalah hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi
hubungan bantuan militer ketika Pangeran Samudera berhadapan dengan Raja Daha
Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samudera adalah cikal bakal raja-raja
Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Pangeran
Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman
pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha. Patih
Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju.
Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat
memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang
kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai upeti dan
pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih mengadakan pertemuan
dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk mencari
jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa. Mereka sepakat
mencari Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita
sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat, karena Pangeran Tumenggung
yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuh
Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar
setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan
memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya.
Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu
pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang tidak
dapat dihindarkan lagi. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan bertahan di muara
sungai Amandit.
Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan
Selatan, bila diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari
Negara Daha sampai Banjarmasin dari :
1. Maharaja
Sari Kaburangan/Raden Sekar Sungsang
2. Maharaja
Sukarama
3. Pangeran
Mangkubumi/Raden Manteri
4. Pangeran
Tumenggung
5. Pangeran
Samudera
Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak
tapi dari tangan musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi
istana. Raden Sekar Sungsang usurpator
pertama adalah pembangunan dinasti Hindu Negara Daha, dan Pangeran
Samudera usurpator kedua adalah
pembangun dinasti Islam Banjarmasin.
- Peranan Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual di Kalimantan
Selatan
Tradisi intelektual umumnya mengacu
kepada proses transmisi keislaman, pmbentukan wacana intelektual, yang alam
proses selanjutnya menjadi tradisi yang dikembangkan dan dipelihara secara
terus-menerus[[1]].
Ulama menduduki posisi utama, bukan
saja dalam bidang keagamaan tetapi juga dalam bidang sosial-politik dan budaya.
Dalam bidang keagamaan, ulama adalah penafsir yang sah atas ajaran islam dan
selanjutnya menentukan corak keagamaan suatu masyarakat. Dalam bidang
sosial-politik dan budaya, ulama merupakan elit sosial, kedudukan yang
disandangnya sejalan dengan perannya di bidang keagamaan. Selain memainkan
peran seperti diatas, mereka juga adalah pemimpin lembaga sosial keagamaan,
seperti pesantren, surau, dan tarekat. Dengan semua peran ini ulama memainkan
pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat islam[[2]].
- Muhammad Arsyad Al-Banjari (Riwayat Hidup dan
Pemikirannya)
Muhammad arsyad al-banjari[19[3]](1122-1227/1710-1812)
merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta
memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di kalimantan selatan.
Muhammad arsyad al-banjari dilahirkan
di Martapura, Kalimantan Selatan, Muhammad ’Arsyad mendapatkan pendidikan dasar
keagamaannya di desanya sendiri, dari ayahnya dan para guru setempat, sebab
tidak ada bukti bahwa atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah
tersebut. Ketika
dia berumur tujuh tahun, dia diriwayatkan bahwa dia telah mampu membaca
Al-Qur’an secara sempurna. Dia menjadi terkenal karena hal ini, sehingga
mendorong sultan Tahlilullah (1112-58/1700-45) untuk mengajaknya beserta keluarganya
tinggal di istana sultan. Di kemudian hari, sultan menikahkannya dengan seorang
wanita; tetapi ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad Arsyad ke
Haramayn guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya Kesultanan. Sultan
tampaknya mengongkosinya dengan murah hati; Muhammad Arsyad bahkan mampu
membeli sebuah rumah di daerah Syamiyah, Makkah, yang masih dipertahankan para
imigran Banjar sampai waktu belakangan ini[[4]].
Guru-guru muhammad arsyad yang dikenal adalah al-sammani, al-damanhuri, slayman
al-kurdi, dan atha athaillah al-mashri. Ada kemungkinan dia belajar dengan
guru-guru lain, terutama dengan ibrahim al-rais al-zamzami, yang darinya
muhammad arsyad boleh jadi mempelajari ilm al-falak (astronomi), bidang yang
menjadikannay salah seorang ahli paling menonjol diantara para ulama
melayu-indonesia.
Mempertimbangkan karya-karya dan
kegiatan-kegiatanya setelah kembali ke nusantara, kita dapat berasumsi bahwa
muhammad arsyad adalah seorang ahli dalah bidang fiqih atau syariat, terutama
adanya fatwa bahwa bukunya yang paling termasyhur, yang berjudul sabil
al-muhtadin adalah buku fikih. Tetapi, ini tidak lantas berarti, dia tidak
menguasai tasawuf; diketahui bahwa dia juga menulis sebuah karya berjudul kanz al-ma’rifah, yang membahas tentang
tasawuf. Jadi, muhammad arsyad mendapatkan keahlian dalam ilmu lahir
(al-zhahir) maupun ilmu batin (al-bathin), atau seperti ditulis steenbrink, dia
telah menguasai fikih dan tasawuf[[5]].
muhammad arsyad menerima tarekat sammaniyah dari al-sammani, dan dia dianggap
sebagai ulama paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat sammaniyah di
kalimantan.
Muhammad arsyad belajar sekitar tiga
puluh tahun di makkah dan lima puluh tahun di madinah bersama beberapa murid
melayu indonesia lainnya. Beberapa tahun sebelum dia kembali ke nusantara,
diriwayatkan dia mulai mengajar murid-murid di masjidil haram, makkah. Namun,
muhammad arsyad merasakan belum mendapatkan pengetahuan yang memadai. Bersama
dengan al-palimbani, abd al-rahman al-batawi, dan abdul wahhab al-bugisi, dia
meminta izin guru mereka, athaillah al-mashri, untuk menambah pengetahuan di
kairo. Meski menghargai niat baik mereka, athailah menyarankan jauh lebih baik
bagi mereka kembali ke nusantara, sebab dia percaya mereka telah memiliki
pengetahuan yang lebih dari cukup, yang dapat mereka mamfaatkan
untuk mengajar di tanah air mereka. Bagaimanapun, mereka tetap memutuskan pergi
ke kairo, tetapi hanya untuk berkunjung, dan bukan untuk belajar[[6]].
Muhammad arsyad mempertahankan kontak dan komunikasi secara terus-menerus
dengan tanah airnya sementara dia berada di haramayn, sehingga dia selalu
mendapatkan informasi tentang perkembangan islam di sana. Dalam hubungan ini,
Sang sultan, dia mendengar, menerapkan hukuman denda yang berat kepada rakyat
muslimnya yang tidak menjalankan shalat jum’at secara berjamaah. dia
diriwayatkan meminta pendapat gurunya, sulayman al-kurdi, mengenai beberapa
pajakkebijaksanaan agama sultan banjar. Muhammad arsyad juga meminta sulayman
al-kurdi menjelaskan perbedaan antara zakah dengan pajak, sebab sulan banjar
telah mewajibkan penduduk membayar pajak dan bukannya zakah[[7]].
sayang sekali, kita tidak mendapatkan informasi mengenai tanggapan sulayman
al-kurdi atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi riwayat ini mencerminkan
perhatian besar muhammad arsyad terhadap penerapan yang benar atas
ajaran-ajaran syariat.
Muhammad arsyad bersama abd al-rahman
al-batawi al-mashri dan abd al-wahhab al-bugisi kembali ke nusantara pada
1186/1773. sebelum dia pergi ke banjarmasin, atas permintaan al-batawi,
muhammad arsyad tinggal di batavia selama dua bulan. Meski dia tinggal di
batavia hanya dalam waktu yang relatif singkat, dia mampu melancarkan pembaruan
penting bagi kaum muslim batavia. Dia membetulkan arah kiblah beberapa mesjid
di batavia. Menurut perhitungannya, qiblah di mesjid-mesjid di jembatan lima
dan pekojan, batavia, tidak diarahkan secara benar menuju ka’bah dan,
karenanya, harus diubah. Ini menimbulkan kontroversi di kalangan para pemimpin
muslim di batavia, dan akibatnya gubernur jendral belanda memanggil muhammad
arsyad untuk menjelaskan masalah itu. Sang gubernur, yang terkesan akan
perhitungan matematis muhammad arsyad, dengan senang hati memberinya beberapa
hadiah[[8]].
Semangat pembaruan dalam pribadi
muhammad arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga
keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali ke martapura,
kalimantan selatan. Salah satu hal pertama yang dilakukannya setelah
kedatangannya adalah mendirikan lembaga pendidikan islam yang sangat penting
untuk mendidik kaum muslim guna meningkatkan pemahamann mereka atas
ajaran-ajaran dan praktik-praktik islam. Untuk tujuan itu, muhammad
arsyad meminta sultan tahmid allah II (1187-1223/1773-1808) memberinya sebidang
besar tanah tak terpakai di luar ibukota kesultanan. Dia dan abd wahab
al-bugisi, yang kini menikah dengan putri muhammad arsyad, membangun sebuah
pusat pendidikan islam, yang serupa ciri-cirinya dengan surau di sumatra barat
atau pesantren di jawa. Sepeti kebanyakan surau dan pesantren, pusat
pengetahuan muhammad arsyad terdiri atas ruangan-ruangan untuk kuliah, pondokan
para murid, rumah para guru, dan perpustakaan. Pusat ini secara ekonomis dapat
membiayai dirinya sendiri, sebab muhammad arsyad bersama dengan beberapa guru
dan murid mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah dan kebun kebun
sayuran. Tak lama kemudian, pusat itu telah menjadikan dirinya sebagai locus
paling penting untuk melatih para murid yang kemudian hari menjadi ulama
terkemuka di kalangan masyarakat di kalimantan. Muhammad arsyad mengambil
langkah penting lain untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan jalan
memperbarui administrasi keadilan di kesultanan banjar. Di samping menjadikan
doktrin-doktrin hukum islam sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal,
muhammad arsyad, dengan dukungan sultan, mendirikan pengadilan islam terpisah
untuk mengurus masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai
diperkenalkannya jabatan mufti, yang bertanggungjawab mengeluarkan fatwa-fatwa
mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial. Dengan prakarsa ini, Muhammad
Arsyad berusaha menjalankan hukum islam di wilayah kekuasaan kesultanan
banjar.
Karyautama Muhammad Arsyad adalah sabil
al-nuhtadin li al-tafaqquh fi ’amr al-din yang merupakan salah satu karya utama
dalam bidang fiqih dunia melayu setelah diselesaikannya al-shirat al-mustaqim
oleh ar-raniri dan mir’at al-thullab oleh al-sinkili. Sebagaimana dinyatakan
muhammad arsyad dalam catatan pendahulunnya, dia mulai menulis al-shirat
al-mustaqim pada 1139/1779 atas permintaan sultan tahmidillah. Karya ini
diselesaikan pada 1195/1781. dia terbagi atas dua jilid, terdiri atas sekitar
lima ratus halaman. Kitab ini membahas aturan-aturan rinci aspek ibadah
(ritual) dalam fikih.pada dasarnya karya itu merupakan penjelasan, atau sampai
batas tertentu adalah revisi, atas karya al-raniri al-shirat al-mustaqim yang
menggunakan banyak istilah dalam bahasa aceh yang hampir tidak dapat dipahami
para ulama dan masyarakat melayu-indonesia di wilayah-wilayah laindi nusantara.
Sabil Al-Muhtadin, yang dicetak beberapa kali di Makkah, Kairo, Istambul dan
beberapa tempat di Nusantara, sangat populer di kalangan Melayu-Indonesia, dan
masih digunakan di banyak wilayah di Nusantara. Kepopuleran tulisan Muhammad
Arsyad menunjukkan, bahwa karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran hukum
Islam benar-benar dibutuhkan kaum muslim Melayu Indonesia sebagai
petunjuk praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga menunjukkan
kenyataan bahwa kaum muslim di nusantara mempunyai minat sangat besar pada
hukum islam dan tidak hanya tertarik pada mistisisme Islam, sebagai diasumsikan
beberapa sarjana.
Beliau meninggal dunia pada malam
Selasa yaitu di antara waktu Maghrib dan Isyak, pada 6 Syawal 1227 Hijrah
bersamaan 13 Oktober 1812 Masehi. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun
dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat Islam di Nusantara
- Abdul
Wahhab Al-Bugisi
Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian
juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul
Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan
Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk
menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun),
maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak
memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.
Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah Banjar
seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah menuntut
ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada tahun 1772
M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga
bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi
memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan
Tamjidullah.
Abdul Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
setelah dinikahkan dengan Syarifah Tekad Abdul Wahabyang bulat untuk
memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu yang telah didapat ketika
belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan bersama
teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin menguatkan
keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri
adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan
Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada
keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa
Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran
Islam di Kalimantan.
Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum
bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis di tanah Banjar
(Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh
seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi
juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad Arsyad
sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi
manakala mengetahui status Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga
oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi
guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.
Kedua, membantu
Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan
oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat
dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam
di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia
juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang
berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat
pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.
Ketiga, Abdul Wahab merupakan teman
diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari
adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang
sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan
pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan
risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
terutama Kitab Sabilal Muhtadin.
Keempat, untuk mendidik dan membina
kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka daerah
Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang
menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus
tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa
ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan
dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa.
Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada
akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk
memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan
mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam
benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar
khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Sultan
Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang
telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar
kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda
pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai
dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul
lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah
Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli.
Di samping alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas
dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang
alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul
Wahab juga salah seorang ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang
peranan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar
tarekat Sammaniyah yang bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam
tulisan saya yang berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah
Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003). Sehingga
dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan pendekatan dakwah
sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di samping pendekatan dakwah syariah[[9]].
Sayangnya, perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal
terlebih dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu
mendakwahkan Islam bersama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih
kurang 10-15 tahunan
C. Islam Masuk di Kalimantan Timur
Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-600)
kerajaan Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu
Syekh Abdul Qadir Khatib Tunggal yang bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri
Tiro yang dikenal dengan gelar Tunggang Parangan. Seperti yang di kisahkan
dalam Silsilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama tersebut adalah untuk menyebarkan
agama islam dengan cara mengajak Aji Raja Mahkota Untuk memeluk agama Islam,
pada awalnya ajakan ulama ini di tolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan
bahwa agama di kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu.
Langkah dakwah kedua ulama ini untuk mengajak Aji
Raja Mahkota di tolak oleh sang Raja. Bahkan karena langkah dakwah ini buntu,
Tuan ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan
tunggang parangan di kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir, Tunggang
Parangan menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian
dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja bersedia untuk
memeluk islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota yang akan menang maka Tunggang
Parangan akan mengabdikan hidupnya untuk kerajaan Kutai Kartanegara.
Solusi Tunggang Parangan di setujui oleh Raja
Mahkota. Adu kesaktian akhirnya di gelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja
Mahkota. Sebagai konskuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota Akhirnya masuk
Islam. Sejak Aji Raja Masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat
interaksi dengan kerajaan majapahit lambat laun luntur dan berganti
dengan pengaruh Islam dan sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk
agama hindu kemudia tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran
kerajaan.
Perkembangan kerajaan Kutai Kartanegara yang
mempunyai lokasi berdekatan dengan kerajaan kutai yang lebih dulu ada di Muara
Kaman pada awalnya tidak menimbulkan friksi yang berarti. Hanya saja ketika
Kerajaan Kutai Kartanegara di perintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa
ing Martadipura (1605-1635 M) terjadi perang antara dua kerajaan besar ini. Di
akhir perang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara di lebur menjadi
satu dengan nama
Kerajaan
Kutai Kartanegara ing Martadipura. Raja pertama dari penggabungan dua kerajaan
ini adalah Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M).
Pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji
Mendapa ing Martadipura, pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji
Raja Mahkota (1525-1600 M) telah mengakar kuat. Islam sangat berpengaruh pada
sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Karta Negara ing Martadipura. Indikator dari
pengaruh islam terlihat pada pemakaian Undang-Undang Dasar Kerajaan yang di
kenal dengan nama “Panji Salaten” yang terdiri dari 39 Pasal dan memuat sebuah
kitab peraturan yang bernama “Undang-Undang Beraja Nanti” yang memuat 164 Pasal
peraturan. Kedua Undang-Undang tersebut berisi peraturan tentang yang di
sandarkan pada Hukum Islam.
Pemimpin pertama yang memakai gelar “Sultan” adalah
Aji Su;tan Muhammad Idris. Beliau merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada
saat rakyat Bugis di Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie), Sultan Wajo meminta bantuan Aji Sultan Muhammad
Idris. Permintaan bantuan pun di penuhi oleh Aji Sultan Muhammad Idris.
Kemudian berangkatlah rombongan Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi Selatan
untuk membantu Sultan Wajo La Madukelleng. Dalam upaya memberikan bantuan
tersebut Aji Sultan Muhammad Idris Meninggal dunia.
Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke
Sulawesi, kursi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadi pura di pegang oleh dewan
perwakilan. Tetapi ketika Aji Sultan Muhammad Idris Meninggal dalam pertempuran
di Sulawesi, timbul perebutan tahta tentang pengganti sultan. Perebutan tahta
terjadi antara kedua anak Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu putra Mahkota Aji
Imbut dan Aji Kado.
Pada awal awal perebutan tahtta, Aji Imbut terdesak
oleh Aji Kado dan lari ke Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La
MAdukelleng. Aji Imbut menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado
yang telah menduduki ibukota kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang
terletak di pemarangan, karena ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara telah
berpindah dari Kutai lama ke Pemarangan sejak tahun 1732.
Aji Imbut Akhirnya menyerang Aji Kado di Pemarangan.
Di dukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis dan Aji Imbut berhasil mengalahkan
Aji Kado dan memduduki singgasana Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
dengan Gelar Aji Marhum Muslihuddin (1739-1782 M). sedangkan Aji Imbut dihukum
mati dan dimakamkan di pulau jembayan.
Di
Kalimantan Timur inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk Ri Bandang
dan Tuan Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk kepada
Islam diikuti oleh para pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang. Untuk
kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah masjid. Tahun 1575 M, raja Mahkota
berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke pedalaman Kalimantan
Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di Langgar dan
para penggantinya.
D.
Islam Masuk di Kalimantan Tengah
seorang ulama yang telah berjasa besar dalam
menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah
Kotawaringin. Ulama tersebut adalah Kiai Gede, seorang ulama asal Jawa yang
diutus oleh Kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran Islam
di Pulau Kalimantan. Kedatangan Kiai Gede tersebut
ternyata disambut baik oleh Sultan Mustainubillah. Oleh sang Sultan, Kiai Gede
kemudian ditugaskan menyebarkan Islam di wilayah Kotawaringin, sekaligus
membawa misi untuk merintis kesultanan baru di wilayah ini.
Berkat jasa-jasanya yang besar dalam menyebarkan
Islam dan membangun wilayah Kotawaringin, Sultan Mustainubillah kemudian
menganugerahi jabatan kepada Kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan
pangkat Patih Hamengkubumi dan bergelar Adipati Gede Ing Kotawaringin. Namun,
hadiah yang paling berharga dari sang Sultan bagi Kiai Gede adalah dibangunnya
sebuah masjid yang kelak bukan sekedar sebagai tempat beribadah, melainkan juga
sebagai pusat kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bagi Kiai Gede dan para
pengikutnya. Bersama para pengikutnya, yang waktu itu hanya berjumlah 40 orang,
Kiai Gede kemudian membangun Kotawaringin dari hutan belantara menjadi sebuah
kawasan permukiman yang cukup maju. Kalaupun wilayah Kotawaringin sekarang ini
menjadi salah satu kota yang terbilang maju di Kalimantan,
hal itu tidak dapat dipisahkan dari jasa besar Kiai Gede dan para pengikutnya.
Kiai Gede membangun Sebuah Masjid yang bernama Masjid Kiai Gede, Mesjid ini
menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di Kotawaringin. Masjid Kiai Gede dibangun pada
tahun 1632 Miladiyah atau tahun 1052 Hijriyah, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah (1650-1678 M), raja keempat dari
Kesultanan Banjarmasin.
·
Pendidikan Islam di
Kalimantan
Pendidikan Islam di Kalimantan dipelopori oleh
Madrasatun Najah wal Falah yang didirikan pada tahun 1918 M, hal ini menjadi
inspirasi bagi berdirinya madrasah-madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang
lain. Diantara madrasah-madrasah tersebut adalah :
Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah). Di antara madrasah yang masyhur adalah
Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di Sambas yang berdiri pada tahun 1922
M. Proses pembelajaran di madrasah ini selama 5 tahun ditambah 1 tahun kursus
vak agama. Materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama ditambah pengetahuan
umum. Al-Raudlatul Islamiyyah Madrasah Al-Raudlatul Islamiyyah berlokasi di
Pontianak, didirikan pada tahun 1936 M. Madrasah ini menyelenggarakan dua
tingkat pendidikan yaitu Ibtidaiyah selama 6 tahun dan Tsanawiyah selama 3
tahun. Materi yang diajarkan sama dengan madrasah lain yaitu ilmu agama
ditambah ilmu umum. Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) SMIP didirikan pada
tanggal 15 Oktober 1946 M di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Lama pelajarannya
selama 5 tahun terdiri dari 6 kelas. Pelajaran Agama di kelas 1, 2 dan 3
sederajat dengan Tsanawiyah dan pelajaran umum sedapat-dapatnya sederajat
dengan SMP Negeri.
Normal Islam Amuntai Madrasah ini didirikan pada
tahun 1928 oleh H. Abdur Rasyid, seorang lulusan Al-Azhar Mesir dengan nama
Arabische School. Pada akhir 1941 tampuk kepemimpinan dipegang oleh Ustadz M.
Arif Lubis, salah satu guru di Pondok Modern Gontor Ponorogo (Madiun) dan
berubah namanya menjadi Ma’had Rasyidah Amuntai. Pada tahun 1945, nama
madarasah berubah menjadi sekolah guru dengan nama Normal Islam IMI Amuntai,
dengan lama pelajaran selama 6 tahun dan rencana pelajarannya disesuaikan
dengan hajat masyarakat.
Selain madrasah-madrasah tersebut banyak
madrasah-madrasah lainnya, diantaranya Madrasah Imad Darussalam di Martapura,
Madrasah Sekolah Menengah Islam di Kandangan, Madrasah Al-Ashriah di
Banjarmasin dan lain-lain.
·
Organisasi Perkumpulan
Madrasah di Kalimantan
Di kalimantan ada beberapa organisasi perkumpulan
madrasah, diantaranya :
a.
Persatuan Madrasah
Islam Indonesia (PERMI) Permi didirikan di Pontianak pada tahun 1954 dengan
tujuan untuk menyatukan nama madrasah dengan nama yang sederhana yaitu
Madrasatul Islam Al Ibtidaiyah dan Madrasatul Islam Tsanawiyah. Tujuan lainnya
adalah menyatukan bahan dan sumber pelajaran, yakni menggunakan kitab-kitab
keluaran Sumatera. Permi memberi ketentuan bahwa pelajaran pada
madrasah-madrasah itu terdiri dari ilmu agama, bahasa Arab dan pengetahuan umum
dengan porsi pengetahuan umum sekurang-kurangnya 30%. Permi juga mempunyai
tujuan untuk menyatukan madrasah-madrasah dalam organisasi ini.
b.
Ikatan Madrasah Islam
(IMI) Amuntai IMI didirikan pada tanggal 15 Maret 1945 dengan tujuan
menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas berdirinya
perguruan tinggi Islam dan memperbaiki organisasi dan leerplan
perguruan-perguruan Islam yang telah ada agar sesuai dengan hajat hidup orang
banyak. Untuk mencapai tujuan tersebut IMI melakukan rapat-rapat dengan
guru-guru dan pendidik-pendidik Islam, mendirikan perguruan-perguruan Islam
jika memungkinkan, menggabungkan perguruan-perguruan Islam menjadi satu serta
memberikan arahan-arahan kepada perguruan-perguruan Islam tentang pendidikan,
pengajaran dan organisasi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah Islam datang ke Indonesia terutama di Pulau
Kalimantan banyak perubahan-perubahan yang terjadi terutama bagi rakyat yang
menengah ke bawah. Mereka lebih di hargai dan tidak tertindas lagi karena Islam
tidak mengenal sistem kasta, karena semua masyarakat memiliki derajat yang
sama. Islam juga membawa perubahan-perubahan baik di bidang politik, ekonomi
dan agama. Islam juga bisa mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia untuk
melawan dan memgusir para penjajah.
B. Saran
Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali
kekurangannya. Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan
saran, kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas kelompok kami
ini
DAFTAR
PUSTAKA
·
Buku
Abdillah,
Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia", dalam
Seminar Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di
Indonesia", Jakarta:
Ali
Daud, Muhammad, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet . ke-2
Cendekiawan
Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra,
Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999
·
Media Online
http://ldiisampit.blogspot.com/2011/11/perkembangan-islam-di-kalimantan.html
[[1]] Tradisi intelektual
juga dipahami sebagai upaya “penerjemahan” nilai-nilai islam ke dalam system
sosial budaya masyarakat nusantara, berarti proses penyerapan prinsip islam
melalui modus konseptualisasi yang berbasis pada system sosial budaya
nusantara, yang akan membentuk dimensi islam nusantara yang khas. Ensiklopedi Tematis… jilid 5, hal. 139.
[2] Penyebaran pembaruan dari pusat-pusat
pengetahuan dan keilmuwan di timur tengah ke berbagai wilayah nusantara serta
hubungan religius dan intelektual antarulamanya ternyata tidak terputus hingga
masa al-raniri, singkel, dan syekh yusuf saja, melainkan berkelanjutan dan
bahkan mencapai momentumnya pada periode berikutnya, tepatnya abad-18 hingga
awal abad ke-19 dan ke-20. pada periode ini pula gerakan pembaruan di wilayah
Melayu-Indonesia mulai menunjukkan akselerasi yang signifikan dengan lebih
berkembangnya penghargaan akan pentingnya pengetahuan dan keilmuwan islam serta
perlunya pembaruan di kalangan berbagai kelompok etnik di Nusantara.
Ulama
melayu-indonesia setelah abad ke-7, tercatat: abdus samad al-palimbani,
syihabuddin bin Abdullah Muhammad, kemas fakhruddin, kemas Muhammad bin ahmad,
dan Muhammad muhyiddin bin syihabuddin (Sumatra selatan) dan ulama-ulama dari
berbagai wilayah yaitu Muhammad arsyad al-banjari dan Muhammad nafis al-banjari
dari Kalimantan selatan, abdul wahhab al-bugisi dari sulawesi, Abdurrahman
masri al-baawi dari batavia, daud bin Abdullah al-fatani dari wilayah
patani(Thailand selatan), ahmad rifa’I dari kalisasak, Muhammad bin umar
an-nawawi al-bantani al-jawi dari banten, serta syekh ahmad khatib
al-minangkabawi dan Muhammad yasin bin Muhammad isa al-padani dari Sumatra
barat. Ensiklopedi Tematis…, jilid
5. hal. 127-128).
[[3]] Jalur
nasabnya adalah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar
bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad
Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al
Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin
Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi
Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama'ah bin
Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi
bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja'far As
Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam
Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu'minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah
Az Zahra binti Rasulullah SAW.
[[4]]Untuk
biografi lengkap muhammad arsyad, lihat, zamzan, syekh muhammad arsyad; jusuf
halidi, ulama besar kalimantan: syech muhammad arsjad al-banjari, martapura:
jajasan al-banjari, 1968;tamar djaja, ”sjeich M. Arsjad Bandjar”, dalam pusaka
indonesia, djakarta: bulan bintang, 1965, 309 – 17; Shaghir Abdullah, syeikh
muhd. Arsyad albanjari, matahari islam, pontianak: al-fathanah, 1983;abu daudi,
maulana syekh moh. Arsyad al-banjari, martapura: sullamululum, 1980; M.S Kadir,
”Syekh muhammad ’arsyad al-banjari pelopor dakwah islam & kalimantan
selatan”, mimbar ulama, 6 (1976), 69-79, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[5]k. Steenbrink,”syekh muhammad arsyad
al-banjari: 1710-1812, tokoh fikih dan tasawuf,” dalam karyanya beberapa aspek
tentang islam di nidonesia abad ke-19, jakarta: bulan bintang, 1984,91,96.
dalam Azra, Jaringan Ulama…,
[6] . halidi, ulama besar, 11-12; abdullah, syekh abdush shamad, 11 –
2, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[7] . zamzam, syek muhammad arsyad, 10; steenbrink,syekh muhammad
arsyad; 92, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[8] . halidi, ulama besar, 14 – 5; halidi,
syekh muhammad arsyad, 7; c.s hurgronje, nasihat-nasihat c.snouck hurgronje semasa
kepegawaiannya kepada pemerintah hindia belanda, terj. Sukarsi, jakarta:
INIS,1991,V,898 – 9. ini merupakan edisi indonesia dari E.Gobee & C.
Adrianse (comp), Amptelijke Adviezen van C. Snouck hurgronje, 1889 – 1936, 2
jilid, s-Gravenbage: Nijhoff, 1959 -65, dalam Azra, Jaringan Ulama…,
[9] . Dimaksud dengan dakwah sufistik
adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang
lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti
dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan
pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek
batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya. Dengan kata lain pendekatan
dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di
dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak
kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap
semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang
terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul
kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah)
sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004:
46).
Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah). Di antara madrasah yang masyhur adalah Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di Sambas yang berdiri pada tahun 1922 M. Proses pembelajaran di madrasah ini selama 5 tahun ditambah 1 tahun kursus vak agama. Materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama ditambah pengetahuan umum. Al-Raudlatul Islamiyyah Madrasah Al-Raudlatul Islamiyyah berlokasi di Pontianak, didirikan pada tahun 1936 M. Madrasah ini menyelenggarakan dua tingkat pendidikan yaitu Ibtidaiyah selama 6 tahun dan Tsanawiyah selama 3 tahun. Materi yang diajarkan sama dengan madrasah lain yaitu ilmu agama ditambah ilmu umum. Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) SMIP didirikan pada tanggal 15 Oktober 1946 M di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Lama pelajarannya selama 5 tahun terdiri dari 6 kelas. Pelajaran Agama di kelas 1, 2 dan 3 sederajat dengan Tsanawiyah dan pelajaran umum sedapat-dapatnya sederajat dengan SMP Negeri.
[[1]] Tradisi intelektual
juga dipahami sebagai upaya “penerjemahan” nilai-nilai islam ke dalam system
sosial budaya masyarakat nusantara, berarti proses penyerapan prinsip islam
melalui modus konseptualisasi yang berbasis pada system sosial budaya
nusantara, yang akan membentuk dimensi islam nusantara yang khas. Ensiklopedi Tematis… jilid 5, hal. 139.
[2] Penyebaran pembaruan dari pusat-pusat
pengetahuan dan keilmuwan di timur tengah ke berbagai wilayah nusantara serta
hubungan religius dan intelektual antarulamanya ternyata tidak terputus hingga
masa al-raniri, singkel, dan syekh yusuf saja, melainkan berkelanjutan dan
bahkan mencapai momentumnya pada periode berikutnya, tepatnya abad-18 hingga
awal abad ke-19 dan ke-20. pada periode ini pula gerakan pembaruan di wilayah
Melayu-Indonesia mulai menunjukkan akselerasi yang signifikan dengan lebih
berkembangnya penghargaan akan pentingnya pengetahuan dan keilmuwan islam serta
perlunya pembaruan di kalangan berbagai kelompok etnik di Nusantara.
Ulama
melayu-indonesia setelah abad ke-7, tercatat: abdus samad al-palimbani,
syihabuddin bin Abdullah Muhammad, kemas fakhruddin, kemas Muhammad bin ahmad,
dan Muhammad muhyiddin bin syihabuddin (Sumatra selatan) dan ulama-ulama dari
berbagai wilayah yaitu Muhammad arsyad al-banjari dan Muhammad nafis al-banjari
dari Kalimantan selatan, abdul wahhab al-bugisi dari sulawesi, Abdurrahman
masri al-baawi dari batavia, daud bin Abdullah al-fatani dari wilayah
patani(Thailand selatan), ahmad rifa’I dari kalisasak, Muhammad bin umar
an-nawawi al-bantani al-jawi dari banten, serta syekh ahmad khatib
al-minangkabawi dan Muhammad yasin bin Muhammad isa al-padani dari Sumatra
barat. Ensiklopedi Tematis…, jilid
5. hal. 127-128).
[[3]] Jalur
nasabnya adalah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar
bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad
Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al
Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin
Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi
Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama'ah bin
Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi
bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja'far As
Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam
Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu'minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah
Az Zahra binti Rasulullah SAW.
[[4]]Untuk
biografi lengkap muhammad arsyad, lihat, zamzan, syekh muhammad arsyad; jusuf
halidi, ulama besar kalimantan: syech muhammad arsjad al-banjari, martapura:
jajasan al-banjari, 1968;tamar djaja, ”sjeich M. Arsjad Bandjar”, dalam pusaka
indonesia, djakarta: bulan bintang, 1965, 309 – 17; Shaghir Abdullah, syeikh
muhd. Arsyad albanjari, matahari islam, pontianak: al-fathanah, 1983;abu daudi,
maulana syekh moh. Arsyad al-banjari, martapura: sullamululum, 1980; M.S Kadir,
”Syekh muhammad ’arsyad al-banjari pelopor dakwah islam & kalimantan
selatan”, mimbar ulama, 6 (1976), 69-79, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[5]k. Steenbrink,”syekh muhammad arsyad
al-banjari: 1710-1812, tokoh fikih dan tasawuf,” dalam karyanya beberapa aspek
tentang islam di nidonesia abad ke-19, jakarta: bulan bintang, 1984,91,96.
dalam Azra, Jaringan Ulama…,
[6] . halidi, ulama besar, 11-12; abdullah, syekh abdush shamad, 11 –
2, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[7] . zamzam, syek muhammad arsyad, 10; steenbrink,syekh muhammad
arsyad; 92, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[8] . halidi, ulama besar, 14 – 5; halidi,
syekh muhammad arsyad, 7; c.s hurgronje, nasihat-nasihat c.snouck hurgronje semasa
kepegawaiannya kepada pemerintah hindia belanda, terj. Sukarsi, jakarta:
INIS,1991,V,898 – 9. ini merupakan edisi indonesia dari E.Gobee & C.
Adrianse (comp), Amptelijke Adviezen van C. Snouck hurgronje, 1889 – 1936, 2
jilid, s-Gravenbage: Nijhoff, 1959 -65, dalam Azra, Jaringan Ulama…,
[9] . Dimaksud dengan dakwah sufistik
adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang
lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti
dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan
pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek
batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya. Dengan kata lain pendekatan
dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di
dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak
kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap
semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang
terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul
kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah)
sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004:
46).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar